Makalah Tentang Fiqih Muamalah
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Manusia adalah makhluk yang paling
sempurna di antara ciptaan-NYA dan juga sebagai pemimpin dimuka bumi ini. Dari
pengertian ini biasanya disalah artikan oleh manusia itu sendiri, dengan cara
bertindak
semaunya sendiri/seenaknya sendiri tanpa melihat apa ada yang
dirugikan disekeliling mereka. Artinya hanya peduli dengan kepentingannya
sendiri tanpa peduli pada kepentingan orang lain. Seperti contoh bermasyarakat
khususnya dengan tetangga, jika kita menyalakan radio selayaknya sesuai aturan
jangan sampai mengganggu tetangga kita, yang mana dari itu ketahuanlah bahwa
kita punya rasa tenggang rasa atau tidak. Jadi secara tidak lain kita sebagai
warga Negara yang baik harus taat pada aturan tertulis maupun yang tidak
tertulis seperti aturan dalam masyarakat. Khususnya bagi umat muslim selain
harus taat pada aturan-aturan tertulis maupun yang tidak tertulis, kita juga
mempunyai aturan agama yang memang wajib kita laksanakan jika ingin benar-benar
menjadi seorang muslim yang haqiqi yaitu fiqh.
Didalamnya mencakup seluruh sisi
kehidupan individu dan masyarakat, baik perekonomian, sosial kemasyarakatan,
politik bernegara, serta lainnya. Para ulama mujtahid dari kalangan para
sahabat, tabi’in, dan yang setelah mereka tidak henti-hentinya mempelajari
semua yang dihadapi kehidupan manusia dari fenomena dan permasalahan tersebut
di atas dasar ushul syariat dan kaidah-kaidahnya.
Berangkat dari sini, sudah menjadi kewajiban
setiap muslim dalam kehidupannya untuk mengenal dan mengamalkan hukum-hukum
syariat terkait dengan amalan tersebut. Seperti yang akan ditulis oleh
pemakalah yaitu tentang kaidah-kaidah fiqh bermuamalah yang bertujuan sebagai
acuan/sandaran kita dalam hubungan kepentingan antar sesama manusia.
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang tersebut, maka rumusan masalah yang muncul adalah:
- Pengertian fiqih muamalah ?
- Ruang lingkup fiqih muamalah ?
- Kaidah fiqih dalam transaksi ekonomi ( muamalah ) ?
- Konsep aqad fiqih muamalah ?
1.3 Tujuan
Penulisan
Dari rumusan masalah di atas, maka tujuan pembuatan makalah ini adalah:
- Untuk mengetahui Pengertian fiqih muamalah
- Untuk mengetahui Ruang lingkup fiqih muamalah
- Untuk mengetahui Kaidah fiqih dalam transaksi ekonomi ( muamalah )
- Untuk mengetahui Konsep aqad fiqih muamalah
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian fiqih muamalah
Menurut Dr. Wahbah Zuhaili (dalam Fiqh
Muamalah Perbankan syariah, Team Counterpart Bank Muamalat Indonesia ,1999),
Fiqih muamalah merupakan salah satu dari bagian persoalan hukum Islam seperti
yang lainnya yaitu tentang hukum ibadah, hukum pidana, hukum peradilan, hukum
perdata, hukum jihad, hukum perang, hukum damai, hukum politik, hukum
penggunaan harta, dan hukum pemerintahan. Semua bentuk persoalan dicantumkan
dalam kitab fiqih adalah pertanyaan yang dipertanyakan masyarakat atau
persoalan yang muncul ditengah-tengah masyarakat. Kemudian para ulama
memberikan pendapatnya yang sesuai kaidah-kaidah yang berlaku dan kemudian
pendapat tersebut dibukukan berdasarkan hasil fatwa-fatwanya.
Fiqih Muamalah tersusun dari dua
kata (lafadz), yaitu fiqih (الفقه)
dan Muamalah (المعاملة). Lafadz
yang pertama (الفقه) secara
etimologi memiliki makna pengeritan atau pemahaman,[1][1] sedangkan dalam terminologi kata fiqih memiliki definisi yang beragam dari
kalangan ulama’ :
Secara bahasa ( etimologi ) Fiqih (فقه
) berasal dari kata faqiha (فقه) yang berarti Paham: pemahaman seperti
tercermin dalam firman Allah SWT, yang artinya: “Perhatikanlah, betapa kami
mendatangkan tanda-tanda kebesaran Kami silih berganti agar mereka memahaminya”
(QS: Al-An’am: 65)[1]
dan muamalah berasal dari kata ’amila (معاملة - يعامل – عامل ) yang berarti
berbuat atau bertindak. Muamalah adalah hubungan kepentingan antar sesama
manusia ( Hablun minannas ). Muamalah tersebut meliputi transaksi-transaksi
kehartabendaan seperti jual beli, perkawinan, dan hal-hal yang berhubungan
dengannya, urusan persengketaan ( gugatan, peradilan, dan sebagainya ) dan
pembagian warisan. Sedang menurut istilah muamalah dibagi menjadi dua macam
yaitu:
1. Muhammad
Yusuf Musa berpendapat bahwa muamalah adalah peraturan-peraturan Allah yang
harus diikuti dan ditaati dalam hidup bermasyarakat untuk menjaga kepentingan
manusia”. Muamalah adalah segala peraturan yang diciptakan Allah untuk mengatur
hubungan manusia dengan manusia dalam hidup dan kehidupan. Dari pengertian
dalam arti luas di atas, kiranya dapat diketahui bahwa muamalah adalah
aturan-aturan hukum Allah untuk mengatur manusia dalam kaitannya dengan urusan
duniawi dalam pergaulan social.
2. Pengertian fiqh
muamalah dalam arti sempit yaitu : “muamalah adalah aturan Allah yang mengatur
hubungan manusia dengan manusia dalam usahanya untuk mendapatkan alat-alat
keperluan jasmaninya dengan cara yang paling baik” (Idris Ahmad) atau “muamalah
adalah tukar-menukar barang atau sesuatu yang bermanfaat dengan cara-cara yang
telah ditentukan
2.2 Ruang lingkup fiqih
muamalah
Ruang lingkup fiqih muamalah adalah
seluruh kegiatan muamalah manusia berdasarkan hokum-hukum islam yang berupa peraturan-peraturan
yang berisi perintah atau larangan seperti wajib,sunnah,haram,makruh dan
mubah.hokum-hukum fiqih terdiri dari hokum-hukum yang menyangkut urusan ibadah
dalam kaitannya dengan hubungan vertical antara manusia dengan Allah dan
hubungan manusia dengan manusia lainnya.
Ruang lingkup fiqih muamalah mencakup
segala aspek kehidupan manusia, seperti social,ekonomi,politik hokum dan
sebagainya. Aspek ekonomi dalam kajian fiqih sering disebut dalam bahasa arab
dengan istilah iqtishady, yang artinya adalah suatu cara bagaimana manusia
dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dengan membuat pilihan di antara berbagai
pemakaian atas alat pemuas kebutuhan yang ada, sehingga kebutuhan manusia yang
tidak terbatas dapat dipenuhi oleh alat pemuas kebutuhan yang terbatas.
Ruang linkup fiqh muamalah
terbagi menjadi dua. Ruang lingkup fiqh muamalah yang bersifat adabiyah
ialah ijab dan kabul, saling meridahi, tidak ada keterpaksaan dari salah satu
pihak, hak dan kawajiban, kejujuran pedagang, penipuan, pemalsuan, penimbunan,
dan segala sesuatu yang bersumber dari indra manusia yang ada kaitannya dengan
peredaran harta dalam hidup bermasyarakat.
Ruang lingkup pembahasan adiniyah
ialah masalh jual beli ( al- bai’ al-tijarah ), gadai ( al-rahn
), jaminan dan tanggungan ( kafalan dan dlaman ), pemindahn utang ( hiwalah
), jatuh bangkrut ( taflis ), batas tindakan ( al-harju ), perseroan dan
perkongsian ( al-syirkah ), perseroan harta dan tenaga ( al-mudharabah ), sewa
menyewa ( al-ijarah ), pemberian hak guna pakai ( al- ariyah ), barang titipan
( al-wadlit’ah ), barang temuan ( al- luqathah ), garapan tanah ( al-mujara’ah
)sewa menyewa tanah ( al-mukhabarah ), upah ( ujrat al ’amal ), gugatan (
al-syuf’ah ), syembara ( al-ji’alah ), pembagian kekayan bersama ( al-qismah ),
pemberian ( al-hibbah ), pembebasan ( al-ibra ), damai ( al-shulhu ), dan
ditambah dengan beberapa masalh mu’ashirah ( muhaditsah ), seperti masalah
bungah bank, asuransi, kredit, dan masalah masalh baru lainnya.[2]
2.3 Kaidah fiqih dalam transaksi ekonomi (muamalah)
Kegiatan ekonomi merupakan salah satu
dari aspek muamalah dari sistem Islam, sehingga kaidah fiqih yang digunakan
dalam mengidentifikasi transaksi-transaksi ekonomi juga menggunakan kaidah
fiqih muamalah. Kaidah fiqih muamalah adalah “al ashlu fil mua’malati al ibahah
hatta yadullu ad daliilu ala tahrimiha” (hukum asal dalam urusan muamalah
adalah boleh, kecuali ada dalil yang mengharamkannya). Ini berarti bahwa semua
hal yang berhubungan dengan muamalah yang tidak ada ketentuan baik larangan
maupun anjuran yang ada di dalam dalil Islam (Al-Qur’an maupun Al-Hadist), maka
hal tersebut adalah diperbolehkan dalam Islam.
Kaidah fiqih dalam muamalah di atas
memberikan arti bahwa dalam kegiatan muamalah yang notabene urusan ke-dunia-an,
manusia diberikan kebebasan sebebas-bebasnya untuk melakukan apa saja yang bisa
memberikan manfaat kepada dirinya sendiri, sesamanya dan lingkungannya, selama
hal tersebut tidak ada ketentuan yang melarangnya. Kaidah ini didasarkan pada
Hadist Rasulullah yang berbunyi: “antum a’alamu bi ‘umurid dunyakum” (kamu
lebih tahu atas urusan duniamu). Bahwa dalam urusan kehidupan dunia yang penuh
dengan perubahan atas ruang dan waktu, Islam memberikan kebebasan mutlak kepada
manusia untuk menentukan jalan hidupnya, tanpa memberikan aturan-aturan kaku
yang bersifat dogmatis. Hal ini memberikan dampak bahwa Islam menjunjung tinggi
asas kreativitas pada umatnya untuk bisa mengembangkan potensinya dalam
mengelola kehidupan ini, khususnya berkenaan dengan fungsi manusia sebagai
khalifatul-Llah fil ‘ardlh (wakil Allah di bumi).
Efek yang timbul dari kaidah fiqih
muamalah di atas adalah adanya ruang lingkup yang sangat luas dalam penetapan
hukum-hukum muamalah, termasuk juga hukum ekonomi. Ini berarti suatu transaksi
baru yang muncul dalam fenomena kontemporer yang dalam sejarah Islam belum
ada/dikenal, maka transaksi tersebut “dianggap” diperbolehkan, selama transaksi
tersebut tidak melanggar prinsip-prinsip yang dilarang dalam Islam. Sedangkan
transaksi-transaksi yang dilarang dalam Islam adalah transaksi yang disebabkan
oleh faktor:
1.
Haram zatnya
Di dalam Fiqih Muamalah, terdapat
aturan yang jelas dan tegas mengenai obyek transaksi yang diharamkan, seperti
minuman keras, daging babi, dan sebagainya. Oleh karena itu melakukan transaksi
yang berhubungan dengan obyek yang diharamkan tersebut juga diharamkan. Hal ini
sesuai dengan kaidah fiqih: “ma haruma fi’luhu haruma tholabuhu” (setiap apa
yang diharamkan atas obyeknya, maka diharamkan pula atas usaha dalam
mendapatkannya). Kaidah ini juga memberikan dampak bahwa setiap obyek haram
yang didapatkan dengan cara yang baik/halal, maka tidak akan merubah obyek
haram tersebut menjadi halal.
2.
Haram selain zatnya
Beberapa transaksi yang dilarang dalam
Islam yang disebabkan oleh cara bertransaksi-nya yang tidak sesuai dengan
prinsip-prinsip muamalah, yaitu: tadlis (penipuan), ikhtikar (rekayasa pasar
dalam supply), bai’ najasy (rekayasa pasar dalam demand), taghrir
(ketidakpastian), dan riba (tambahan).
3.
Tidak sah
Segala macam transaksi yang tidak
sah/lengkap akadnya, maka transaksi itu dilarang dalam Islam. Ketidaksah/lengkapan
suatu transaksi bisa disebabkan oleh: rukun (terdiri dari pelaku, objek, dan
ijab kabul) dan syaratnya tidak terpenuhi, terjadi ta’alluq (dua akad yang
saling berkaitan), atau terjadi two in one (dua akad sekaligus). Ta’alluq
terjadi bila kita dihadapkan pada dua akad yang saling dikaitkan, di mana
berlakunya akad pertama tergantung pada akad kedua. Yang seperti ini, terjadi
bila suatu transaksi diwadahi oleh dua akad sekaligus sehingga terjadi
ketidakpastian (grarar) akad mana yang harus digunakan.maka transaksi ini
dianggap tidak sah.
2.4 Konsep aqad fiqih
muamalah
Setiap kegiatan usaha yang dilakukan
manusia pada hakekatnya adalah kumpulan transaksi-transaksi ekonomi yang
mengikuti suatu tatanan tertentu. Dalam Islam, transaksi utama dalam kegiatan
usaha adalah transaksi riil yang menyangkut suatu obyek tertentu, baik obyek
berupa barang ataupun jasa. kegiatan usaha jasa yang timbul karena manusia
menginginkan sesuatu yang tidak bisa atau tidak mau dilakukannya sesuai dengan
fitrahnya manusia harus berusaha mengadakan kerjasama di antara mereka.
Kerjasama dalam usaha yang sesuai dengan prinsip-prinsip Syariah pada dasarnya
dapat dikelompokkan ke dalam:
a. Bekerja sama
dalam kegiatan usaha, dalam hal ini salah satu pihak dapat menjadi pemberi
pembiayaan dimana atas manfaat yang diperoleh yang timbul dari pembiayaan tersebut
dapat dilakukan bagi hasil. Kerjasama ini dapat berupa pembiayaan usaha 100%
melalui akad mudharaba maupun pembiayaan usaha bersama melalui akad musyaraka.
b.
Kerjasama dalam perdagangan, di mana
untuk meningkatkan perdagangan dapat diberikan fasilitas-fasilitas tertentu
dalam pembayaran maupun penyerahan obyek. Karena pihak yang mendapat fasilitas
akan memperoleh manfaat, maka pihak pemberi fasilitas berhak untuk mendapatjan
bagi hasil (keuntungan) yang dapat berbentuk harga yang berbeda dengan harga
tunai.
c. Kerja sama
dalam penyewaan asset dimana obyek transaksi adalah manfaat dari penggunaan
asset.
Kegiatan hubungan manusia dengan
manusia (muamalah) dalam bidang ekonomi menurut Syariah harus memenuhi rukun
dan syarat tertentu. Rukun adalah sesuatu yang wajib ada dan menjadi dasar
terjadinya sesuatu, yang secara bersama-sama akan mengakibatkan keabsahan.
Rukun transaksi ekonomi Syariah adalah:
1. Adanya
pihak-pihak yang melakukan transaksi, misalnya penjual dan pembeli, penyewa dan
pemberi sewa, pemberi jasa dan penerima jasa.
2.
Adanya barang (maal) atau jasa (amal)
yang menjadi obyek transaksi.
3. Adanya
kesepakatan bersama dalam bentuk kesepakatan menyerahkan (ijab) bersama dengan
kesepakatan menerima (kabul).
Disamping itu harus pula dipenuhi
syarat atau segala sesuatu yang keberadaannya menjadi pelengkap dari rukun yang
bersangkutan. Contohnya syarat pihak yang melakukan transaksi adalah cakap
hukum, syarat obyek transaksi adalah spesifik atau tertentu, jelas
sifat-sifatnya, jelas ukurannya, bermanfaat dan jelas nilainya.
Obyek transaksi menurut Syariah dapat
meliputi barang (maal) atau jasa, bahkan jasa dapat juga termasuk jasa dari
pemanfaatan binatang. Pada prinsipnya obyek transaksi dapat dibedakan kedalam:
1. Obyek yang sudah
pasti (ayn), yaitu obyek yang sudah jelas keberadaannya atau segera dapat
diperoleh manfaatnya.
2. Obyek yang masih
merupakan kewajiban (dayn), yaitu obyek yang timbul akibat suatu transaksi yang
tidak tunai.
Secara garis besar aqad dalam fiqih muamalah adalah
sebagai berikut :
1. aqad mudharaba
Ikatan atau
aqad Mudharaba pada hakekatnya adalah ikatan penggabungan atau pencampuran
berupa hubungan kerjasama antara Pemilik Usaha dengan Pemilik Harta
2.
aqad musyarakah
Ikatan atau
aqad Musyaraka pada hakekatnya adalah ikatan penggabungan atau pencampuran
antara para pihak yang bersama-sama menjadi Pemilik Usaha,
3.
aqad perdagangan
Aqad Fasilitas
Perdagangan, perjanjian pertukaran yang bersifat keuangan atas suatu transaksi
jual-beli dimana salah satu pihak memberikan fasilitas penundaan pembayaran
atau penyerahan obyek sehingga pembayaran atau penyerahan tersebut tidak
dilakukan secara tunai atau seketika pada saat transaksi.
4.
aqad ijarah
Aqad Ijara,
adalah aqad pemberian hak untuk memanfaatkan Obyek melalui penguasaan sementara
atau peminjaman Obyek dgn Manfaat tertentu dengan membayar imbalan kepada
pemilik Obyek. Ijara mirip dengan leasing namun tidak sepenuhnya sama dengan
leasing, karena Ijara dilandasi adanya perpindahan manfaat tetapi tidak terjadi
perpindahan kepemilikan.
Dari berbagai penjelasan di atas, maka
dapat ditarik sebuah kesimpulan dahwa Fiqih Muamalah merupakan ilmu yang
mempelajari segala perilaku manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dengan
tujuan memperoleh falah (kedamaian dan kesejahteraan dunia akhirat). Perilaku
manusia di sini berkaitan dengan landasan-landasan syariah sebagai rujukan
berperilaku dan kecenderungan-kecenderungan dari fitrah manusia. Kedua hal
tersebut berinteraksi dengan porsinya masing-masing sehingga terbentuk sebuah
mekanisme ekonomi (muamalah) yang khas dengan dasar-dasar nilai ilahiyah.
2.5 Fiqih Muamalah meliputi :
1.
Jual Beli
a.
Pengertian
Perdagangan atau jual-beli dalam bahasa arab sering
disebut dengan kata al-bai', al-tijarah, atau al-mubadalah.
Sebagaimana firman Allah SWT :
Artinya:
Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan
mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian dari rezeki yang Kami anugerahkan
kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan
perniagaan yang tidak akan merugi (QS. Fathir : 29 ).
Secara bahasa,
jual-beli atau al-bai'u berarti muqabalatu syai'im bi syai'in (مقابلة شيء بشيء). Artinya adalah menukar sesuatu dengan sesuatu.
Al-Imam An-Nawawi
di dalam Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab menyebutkan jual-beli adalah (مقابلة مال بمال تمليكا)
yang berarti : tukar menukar harta dengan harta secara
kepemilikan.
Ibnu Qudamah di
dalam Al-Mughni menyebutkan bahwa jual-beli sebagai (مبادلة المال بالمال تمليكا وتملكا), yang artinya pertukaran harta dengan harta dengan kepemilikan dan penguasaan.
Sehingga bisa
disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan jual-beli adalah : "menukar barang dengan barang atau menukar
barang dengan uang, yaitu dengan jalan melepaskan hak kepemilikan dari yang
satu kepada yang lain atas dasar saling merelakan".
b.
Dasar Masyru'iyah
Jual-beli adalah aktifitas ekonomi yang
hukumnya boleh berdasarkan kitabullah dan sunnah rasul-Nya serta ijma' dari
seluruh umat Islam. Firman Allah SWT :
وَأَحَلَّ اللّهُ
الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
Artinya:
Dan Allah telah menghalalkan jual-beli dan
telah mengharamkan riba. (QS. Al-Baqarah : 275)
Sedangkan dari
sunnah nabawiyah, Rasulullah SAW bersabda :
وَعَنْ اِبْنِ عُمَرَ -رَضِيَ اَللَّهُ
عَنْهُمَا-, عَنْ رَسُولِ اَللَّهِ
قَالَ: إِذَا تَبَايَعَ
اَلرَّجُلَانِ, فَكُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا
وَكَانَا جَمِيعاً, أَوْ يُخَيِّرُ أَحَدُهُمَا اَلْآخَرَ, فَإِنْ خَيَّرَ
أَحَدُهُمَا اَلآخَرَ فَتَبَايَعَا عَلَى ذَلِكَ فَقَدَ وَجَبَ اَلْبَيْعُ, وَإِنْ
تَفَرَّقَا بَعْدَ أَنْ تَبَايَعَا, وَلَمْ يَتْرُكْ وَاحِدٌ مِنْهُمَا اَلْبَيْعَ
فَقَدْ وَجَبَ اَلْبَيْعُ - مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Artinya:
Dari Ibnu Umar r.a. bahwa Rasulullh saw
bersabda: “Apabila dua orang melakukan jual-beli, maka masing-masing orang
mempunyai hak khiyar (memilih antara membatalkan atau meneruskan jual-beli)
selama mereka belum berpisah dan masih bersama; atau selama salah seorang di
antara keduanya tidak menemukan khiyar kepada yang lainnya. Jika salah seorang
menentukan khiyar pada yang lain, lalu mereka berjual-beli atas dasar itu, maka
jadilah jual-beli itu”. (HR. Muttafaq alaih)
عَنْ رِفَاعَةَ بْنِ رَافِعٍ أَنَّ اَلنَّبِيَّ سُئِلَ: أَيُّ اَلْكَسْبِ أَطْيَبُ؟
قَالَ: عَمَلُ اَلرَّجُلِ بِيَدِهِ
وَكُلُّ بَيْعٍ مَبْرُورٍ - رَوَاهُ اَلْبَزَّارُ وَصَحَّحَهُ اَلْحَاكِمُ
Artinya:
Dari Rifa’ah Ibnu Rafi’ r.a. bahwa
Rasulullah saw. pernah ditanya: Pekerjaan apakah yang paling baik?. Beliau
bersabda: “Pekerjaan seseorang dengan tangannya dan setiap jual-beli yang
bersih”. (HR Al-Bazzar.)[2]
وَعَنْ أَبِي مَسْعُودٍ أَنَّ رَسُولَ
اَللَّهِ نَهَى عَنْ ثَمَنِ اَلْكَلْبِ
وَمَهْرِ الْبَغِيِّ وَحُلْوَانِ اَلْكَاهِنِ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Artinya:
Dari Abu Mas’ud al-Anshary r.a. bahwa
Rasulullah saw. melarang mengambil uang penjualan anjing, uang pelacuran dan
upah pertenungan. (HR. Muttafaq Alaih)
c. Hukum Jual Beli
Secara asalnya, jua-beli itu merupakan hal
yang hukumnya mubah atau dibolehkan. Sebagaimana ungkapan Al-Imam Asy-Syafi'i
rahimahullah : dasarnya hukum jual-beli itu seluruhnya adalah mubah, yaitu
apabila dengan keridhaan dari kedua-belah pihak. Kecuali apabila jual-beli itu
dilarang oleh Rasulullah SAW. Atau yang maknanya termasuk yang dilarang beliau
SAW. [3]
d.
Rukun Jual-beli
Sebuah transaksi jual-beli membutuhkan
adanya rukun sebagai penegaknya. Dimana tanpa adanya rukun, maka jual-beli itu
menjadi tidak sah hukumnya. Rukunnya ada tiga perkara, yaitu :
·
Adanya
pelaku yaitu penjual dan pembeli yang memenuhi syarat
·
Adanya
akad / transaksi
·
Adanya
barang / jasa yang diperjual-belikan.
Kita bahas satu persatu masing-masing
rukun jual-beli untuk lebih dapat mendapatkan gambaran yang jelas.
1.
Adanya Penjual dan Pembeli
Penjual dan pembeli yang memenuhi syarat
adalah mereka yang telah memenuhi ahliyah untuk boleh melakukan transaksi
muamalah. Dan ahliyah itu berupa keadan pelaku yang harus berakal dan baligh
Dengan rukun ini maka jual-beli tidak
memenuhi rukunnya bila dilakukan oleh penjual atau pembeli yang gila atau tidak
waras. Demikian juga bila salah satu dari mereka termasuk orang yang kurang
akalnya (idiot).
Demikian juga jual-beli yang dilakukan
oleh anak kecil yang belum baligh tidak sah, kecuali bila yang
diperjual-belikan hanyalah benda-benda yang nilainya sangat kecil. Namun bila
seizin atau sepengetahuan orang tuanya atau orang dewasa, jual-beli yang
dilakukan oleh anak kecil hukumnya sah.
Sebagaimana dibolehkan jual-beli dengan
bantuan anak kecil sebagai utusan, tapi bukan sebagai penentu jual-beli.
Misalnya, seorang ayah meminta anaknya untuk membelikan suatu benda di sebuah
toko, jual-beli itu sah karena pada dasarnya yang menjadi pembeli adalah
ayahnya. Sedangkan posisi anak saat itu hanyalah utusan atau suruhan saja.
2. Adanya Akad
Penjual dan pembeli melakukan akad kesepakatan
untuk bertukar dalam jual-beli. Akad itu seperti : Aku jual barang ini kepada
anda dengan harga Rp. 10.000", lalu pembeli menjawab,"Aku
terima".
Sebagian ulama mengatakan bahwa akad itu
harus dengan lafadz yang diucapkan. Kecuali bila barang yang diperjual-belikan
termasuk barang yang rendah nilainya.
Namun ulama lain membolehkan akad
jual-beli dengan sistem mu'athaah, (معاطاه)
yaitu kesepakatan antara penjual dan pembeli untuk bertransaksi tanpa
mengucapkan lafadz.
3. Adanya Barang /
Jasa Yang Diperjual-belikan
Rukun yang ketiga adalah adanya barang
atau jasa yang diperjual-belikan. Para ulama menetapkan bahwa barang yang
diperjual-belikan itu harus memenuhi syarat tertentu agar boleh dilakukan akad.
Agar jual-beli menjadi sah secara syariah, maka barang yang diperjual-belikan
harus memenuhi beberapa syarat, yaitu :
a.
Suci
Benda yang diperjualbelikan harus benda
yang suci dana arti bukan benda najis atau mengandung najis. Di antara benda
najis yang disepakati para ulama antara lain bangkai, darah, daging babi,
khamar, nanah, kotoran manusia, kotoran hewan[4] dan lainnya.
Dasarnya adalah
sabda Rasulullah SAW :
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اَللَّهِ
-رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اَللَّهِ يَقُولُ عَامَ
اَلْفَتْحِ وَهُوَ بِمَكَّةَ: إِنَّ اَللَّهَ
وَرَسُولَهُ حَرَّمَ بَيْعَ اَلْخَمْرِ وَالْمَيْتَةِ وَالْخِنْزِيرِ
وَالأَصْنَامِ
Artinya:
Dari Jabir Ibnu Abdullah r.a. bahwa ia
mendengar Rasulullah saw. bersabda di Mekkah pada tahun penaklukan kota itu:
”Sesungguhnya Allah melarang jual-beli minuman keras, bangkai, babi, dan
berhala”. (HR. Muttafaq Alaih)
Bank Darah
Darah yang dibutuhkan oleh pasien di rumah
sakit tidak boleh didapat dari jual-beli. Karena itu Palang Merah Indonesia
(PMI) telah menegaskan bahwa bank darah yang mereka miliki bukan didapat dari
membeli. Lembaga itu pun tidak melakukan penjualan darah untuk pasien.
Kalau ada pembayaran, bukan termasuk
kategori memperjual-belikan darah, melainkan biaya untuk memproses pengumpulan
darah dari para donor, penyimpanan, pengemasan dan juga tentunya biaya-biaya
lain yang dibutuhkan. Namun secara akad, tidak terjadi jual-beli darah, karena
hukumnya haram.
Kotoran Ternak
Demikian juga dengan kotoran ternak yang
oleh umumnya ulama dikatakan najis, hukumnya tidak boleh diperjual-belikan.
Padahal kotoran itu sangat berguna bagi para petani untuk menyuburkan tanah
mereka. Untuk itu mereka tidak melakukan jual-beli kotoran ternak. Kotoran itu
hanya diberikan saja bukan dengan akad jual-beli.
Pihak petani hanya menanggung biaya
penampungan kotoran, pengumpulan, pembersihan, pengangkutannya. Biaya untuk
semua itu bukan harga kotoran hewan, sehingga tidak termasuk jual-beli.
b. Punya Manfaat
Yang dimaksud adalah barang harus punya
manfaat secara umum dan layak. Dan juga sebaliknya, barang itu tidak memberikan
madharat atau sesuatu yang membahayakan atau merugikan manusia.
Oleh karena itu para ulama As-Syafi'i
menolak jual-beli hewan yang membahayakan dan tidak memberi manfaat, seperti
kalajengking, ular atau semut. Demikian juga dengan singa, srigala, macan,
burung gagak.
Mereka juga mengharamkan benda-benda yang
disebut dengan alatul-lahwi (perangkat yang melalaikan) yang memalingkan
orang dari zikrullah, seperti alat musik. Dengan syarat bila setelah dirusak
tidak bisa memberikan manfaat apapun, maka jual-beli alat musik itu batil.
Karena alat musik itu termasuk kategori benda yang tidak bermanfaat dalam
pandangan mereka. Dan tidak ada yang memanfatkan alat musik kecuali ahli
maksiat. Seperti tambur, seruling, rebab dan lainnya.
c. Dimiliki Oleh
Penjualnya
Tidak sah berjual-beli dengan selain
pemilik langsung suatu benda, kecuali orang tersebut menjadi wali (al-wilayah) atau wakil.
Yang dimaksud menjadi wali (al-wilayah)
adalah bila benda itu dimiliki oleh seorang anak kecil, baik yatim atau bukan,
maka walinya berhak untuk melakukan transaksi atas benda milik anak itu.
Sedangkan yang dimaksud dengan wakil adalah seseorang yang mendapat
mandat dari pemilik barang untuk menjualkannya kepada pihak lain.
Dalam prakteknya, makelar bisa termasuk
kelompok ini. Demikian juga pemilik toko yang menjual barang secara konsinyasi,
dimana barang yang ada di tokonya bukan miliknya, maka posisinya adalah sebagai
wakil dari pemilik barang.
Adapun transaksi dengan penjual yang bukan
wali atau wakil, maka transaksi itu batil, karena pada hakikatnya dia bukan
pemilik barang yang berhak untuk menjual barang itu. Dalilnya adalah sebagai
berikut :
Tidak sah sebuah talak itu kecuali dilakukan oleh
yang memiliki hak untuk mentalak. Tidak sah sebuah pembebasan budak itu kecuali
dilakukan oleh yang memiliki hak untuk membebaskan. Tidak sah sebuah penjualan
itu kecuali dilakukan oleh yang memiliki hak untuk menjual. Tidak sah sebuah
penunaian nadzar itu kecuali dilakukan oleh yang memiliki hak berkewajiban
atasnya. (HR. Tirmizi - Hadits hasan)
Walau pun banyak yang mengkritik bahwa
periwayaytan hadits ini lemah, namun Imam An-Nawawi mengatakan bahwa hadits ini
diriwayatkan lewat banyak jalur sehingga derajatnya naik dari hasan menjadi
hadits shahih.
Dalam pendapat qadimnya, Al-Imam Asy-syafi'i
membolehkan jual-beli yang dilakukan oleh bukan pemiliknya, tetapi hukumnya
mauquf. Karena akan dikembalikan kepada persetujuan pemilik aslinya. Misalnya,
sebuah akad jual-beli dilakukan oleh bukan pemilik asli, seperti wali atau
wakil, kemudian pemilik asli barang itu ternyata tidak setuju, maka jual-beli
itu menjadi batal dengan sendirinya. Tapi bila setuju, maka jual-beli itu sudah
dianggap sah.
Dalilnya adalah
hadits berikut ini :
'Urwah ra berkata,"Rasulullah SAW
memberi aku uang 1 Dinar untuk membeli untuk beliau seekor kambing. Namun aku
belikan untuknya 2 ekor kambing. Lalu salah satunya aku jual dengan harga 1
Dinar. Lalu aku menghadap Rasulullah SAW dengan seekor kambing dan uang 1 Dinar
sambil aku ceritakan kisahku. Beliau pun bersabda,"Semoga Allah
memberkatimu dalam perjanjianmu". (HR. Tirmizi dengan sanad yang shahih).
d.
Bisa Diserahkan
Menjual unta yang hilang termasuk akad
yang tidak sah, karena tidak jelas apakah unta masih bisa ditemukan atau tidak.
Demikian juga tidak sah menjual burung-burung
yang terbang di alam bebas yang tidak bisa diserahkan, baik secara pisik maupun
secara hukum.
Demikian juga ikan-ikan yang berenang
bebas di laut, tidak sah diperjual-belikan, kecuali setelah ditangkap atau bisa
dipastikan penyerahannya.
Para ahli fiqih di masa lalu mengatakan
bahwa tidak sah menjual setengah bagian dari pedang, karena tidak bisa
diserahkan kecuali dengan jalan merusak pedang itu.
e. Harus
Diketahui Keadaannya
Barang yang tidak diketahui keadaanya,
tidak sah untuk diperjual-belikan, kecuali setelah kedua belah pihak
mengetahuinya. Baik dari segi kuantitasnya maupun dari segi kualitasnya.
Dari segi kualitasnya, barang itu harus
dilihat -meski hanya sample- oleh penjual dan pembeli sebelum akad jual-beli
dilakukan. Agar tidak membeli kucing dalam karung.
Dari segi kuantitas, barang itu harus bisa
dtetapkan ukurannya. Baik beratnya, atau panjangnya, atau volumenya atau pun
ukuran-ukuran lainnya yang dikenal di masanya.
Dalam jual-beli rumah, disyaratkan agar
pembeli melihat dulu kondisi rumah itu baik dari dalam maupun dari luar.
Demikian pula dengan kendaraan bermotor, disyaratkan untuk dilakukan
peninjauan, baik berupa pengujian atau jaminan kesamaan dengan spesifikasi yang
diberikan.
Di masa modern dan dunia industri, umumnya
barang yang dijual sudah dikemas dan disegel sejak dari pabrik. Tujuannya
antara lain agar terjamin barang itu tidak rusak dan dijamin keasliannya. Cara
ini tidak menghalangi terpenuhinya syarat-syarat jual-beli. Sehingga untuk
mengetahui keadaan suatu produk yang seperti ini bisa dipenuhi dengan beberapa
tehnik, misalnya:
·
Dengan
membuat daftar spesifikasi barang secara lengkap. Misalnya tertera di brosur
atau kemasan tentang data-data produk secara rinci. Seperti ukuran, berat,
fasilitas, daya, konsumsi listrik dan lainnya.
·
Dengan
membuka bungkus contoh barang yang bisa dilakukan demo atasnya, seperti umumnya
sample barang.
·
Garansi
yang memastikan pembeli terpuaskan bila mengalami masalah.
2. Riba
a.
Pengertian
Riba
Secara bahasa riba berarti tambahan (ziyadah). Dan secara
istilah berarti tambahan pada harta yang disyaratkan dalam transaksi dari dua
pelaku akad dalam tukar menukar antara harta dengan harta.
Sebagian ulama ada yang menyandarkan definisi’ riba’ pada
hadits yang diriwayatkan al-Harits bin Usamah
Dari Ali bin Abi Thalib, yaitu bahwa Rasulullah SAW
bersabda:” Setiap hutang yang menimbulkan manfaat adalah riba”.
Pendapat ini tidak tepat, karena, hadits itu sendiri sanadnya
lemah, sehingga tidak bisa dijadikan dalil. Jumhur ulama tidak menjadikan
hadits ini sebagai definisi riba’, karena tidak menyeluruh dan lengkap,
disamping itu ada manfaat yang bukan riba’ yaitu jika pemberian tambahan atas
hutang tersebut tidak disyaratkan.
b. Sejarah Riba
Riba memiliki sejarah yang sangat panjang dan prakteknya
sudah dimulai semenjak bangsa Yahudi sampai masa Jahiliyah sebelum Islam dan
awal-awal masa ke-Islaman. Padahal semua agama Samawi mengharamkan riba karena
tidak ada kemaslahatan sedikitpun dalam kehidupan bermasyarakat. Allah SWT
berfirman:
فَبِظُلْمٍ مِّنَ الَّذِينَ هَادُواْ حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ
طَيِّبَاتٍ أُحِلَّتْ لَهُمْ وَبِصَدِّهِمْ عَن سَبِيلِ اللّهِ كَثِيرًا
وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ نُهُواْ عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ
بِالْبَاطِلِ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا
Artinya:
Maka
disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka (memakan
makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena
mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, dan disebabkan mereka memakan
riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka
memakan harta orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk
orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih. (QS an-Nisaa’
160-161)
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لاَ يَقُومُونَ إِلاَّ كَمَا
يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ
قَالُواْ إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللّهُ الْبَيْعَ
وَحَرَّمَ الرِّبَا
Artinya:
Orang-orang
yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya
orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka
yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya
jual-beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan
mengharamkan riba. (QS. Al-Baqarah : 275)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ وَذَرُواْ
مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ فَإِن لَّمْ تَفْعَلُواْ
فَأْذَنُواْ بِحَرْبٍ مِّنَ اللّهِ وَرَسُولِهِ وَإِن تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُؤُوسُ
أَمْوَالِكُمْ لاَ تَظْلِمُونَ وَلاَ تُظْلَمُونَ
Artinya:
Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba
(yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak
mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan
Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba),
maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. (QS
al-Baqarah 276, 278, 279)
عَنْ جَابِرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: لَعَنَ رَسُولُ اَللَّهِ ص آكِلَ اَلرِّبَا
وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ:
هُمْ سَوَاءٌ - رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Artinya:
Dari
Ibnu Mas'ud ra bahwa Rasulullah SAW melaknat pemakan riba’, yang memberi makan,
kedua orang saksinya dan pencatatnya.(HR Muslim)
عَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنْ
اَلنَّبِيِّ ص قَالَ: اَلرِّبَا ثَلَاثَةٌ
وَسَبْعُونَ بَابًا أَيْسَرُهَا مِثْلُ أَنْ يَنْكِحَ اَلرَّجُلُ أُمَّهُ
Artinya:
Dari Abdullah bin
Masud RA dari Nabi SAW bersabda,"Riba itu terdiri dari 73 pintu. Pintu
yang paling ringan seperti seorang laki-laki menikahi ibunya sendiri. (HR. Ibnu
Majah dan Al-hakim)
عن عبد الله بن حنظلة غسيل الملائكة قال : قال رسول الله صلى
الله عليه وسلم درهم ربا يأكله الرجل وهو
يعلم أشد من ست وثلاثين زنية - رواه أحمد
Artinya:
Dari
Abdullah bin Hanzhalah ghasilul malaikah
berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Satu dirham uang riba yang dimakan
oleh seseorang dalam keadaan sadar, jauh lebih dahsyah dari pada 36 wanita
pezina. (HR. Ahmad)
c.
Pembagian
Riba
Al-Hanafi mengatakan bahwa riba itu terbagi menjadi dua,
yaitu riba Al-Fadhl dan riba An-Nasa'. Sedangkan Imam As-Syafi'i membaginya
menjadi tiga, yaitu riba Al-Fadhl, riba An-Nasa' dan riba Al-Yadd. Dan Al-Mutawally
menambahkan jenis keempat, yaitu riba AlQardh. Semua jenis riba ini diharamkan
secara ijma' berdasarkan nash Al Qur'an dan hadits Nabi" (Az Zawqir Ala
Iqliraaf al Kabaair vol. 2 him. 205).
Secara garis besar bisa dikelompokkan menjadi dua besar, yaitu
riba hutang-piutang dan riba jual-beli. Kelompok pertama terbagi lagi menjadi
riba qardh dan riba jahiliyah. Sedangkan kelompok kedua, riba jual-beli,
terbagi menjadi riba fadhl dan riba nasi’ah.
ü Riba Qardh
Suatu manfaat atau
tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berhutang
(muqtaridh).
ü Riba Jahiliyyah
Hutang dibayar lebih
dari pokoknya, karena si peminjam tidak mampu membayar hutangnya pada waktu
yang ditetapkan.
ü
Riba
Fadhl
Riba fadhl adalah
riba yang terjadi dalam masalah barter atau tukar menukar benda. Namun bukan
dua jenis benda yang berbeda, melainkan satu jenis barang namun dengan kadar
atau takaran yang berbeda. Dan jenis barang yang dipertukarkan itu termasuk
hanya tertentu saja, tidak semua jenis barang. Barang jenis tertentu itu
kemudian sering disebut dengan "barang ribawi".
Harta
yang dapat mengandung riba sebagaimana disebutkan dalam hadits nabawi, hanya
terbatas pada emas, perak, gandung, terigu, kurma dan garam saja.
Dari
Ubadah bin Shamait berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda:” Emas dengan emas,
perak dengan perak, gandum dengan gandum, terigu dengan terigu, korma dengan
korma, garam dengan garam harus sama beratnya dan tunai. Jika jenisnya berbeda
maka juallah sekehendakmu tetapi harus tunai (HR Muslim).
Di
luar keenam jenis barang itu tentu boleh terjadi penukaran barang sejenis
dengan kadar dan kualitas yang berbeda. Apalagi bila barang itu berlainan
jenisnya. Tentu lebih boleh lagi.
* Emas : Barter emas
dengan emas hukumnya haram, bila kadar dan ukurannya berbeda. Misalnya, emas 10
gram 24 karat tidak boleh ditukar langsung dengan emas 20 gram 23 karat.
Kecuali setelah dikonversikan terlebih dahulu masing-masing benda itu.
* Perak : Barter
perak dengan perak hukumnya haram, bila kadar dan ukurannya berbeda. Misalnya,
perak 100 gram dengan kadar yang tinggi tidak boleh ditukar langsung dengan
perak200 yang kadarnya lebih rendah. Kecuali setelah dikonversikan terlebih
dahulu masing-masing benda itu
* Gandum : Barter
gandum dengan gandum hukumnya haram, bila kadar dan ukurannya berbeda.
Misalnya, 100 Kg gandum kualitas nomor satu tidak boleh ditukar langsung dengan
150 kg gandum kuliatas nomor dua. Kecuali setelah dikonversikan terlebih dahulu
masing-masing benda itu
* Terigu : Demikian
juga barter terigu dengan teriguhukumnya haram, bila kadar dan ukurannya
berbeda. Misalnya, 100 Kg terigu kualitas nomor satu tidak boleh ditukar
langsung dengan 150 kg terigu kuliatas nomor dua. Kecuali setelah dikonversikan
terlebih dahulu masing-masing benda itu.
* Kurma : Barter kurma dengan kurma hukumnya haram,
bila kadar dan ukurannya berbeda. Misalnya, 1 Kg kurma ajwa (kurma nabi) tidak
boleh ditukar langsung dengan 10 kg kurma Mesir. Kecuali setelah dikonversikan
terlebih dahulu masing-masing benda itu.
ü
Riba
Nasi’ah
Riba Nasi’ah disebut
juga riba Jahiliyah. Nasi'ah bersal dari kata nasa' yang artinya penangguhan. Sebab riba ini
terjadi karena adanya penangguhan pembayaran. Inilah riba yang umumnya kita
kenal di masa sekarang ini. Dimana seseorang memberi hutang berupa uang kepada
pihak lain, dengan ketentuan bahwa hutang uang itu harus diganti bukan hanya
pokoknya, tetapi juga dengan tambahan prosentase bunganya. Riba dalam nasi'ah
muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan
saat ini dengan yang diserahkan kemudian.
Contoh : Ahmad ingin
membangun rumah. Untuk itu dia pinjam uang kepada bank sebesar 144 juta dengan
bunga 13 % pertahun. Sistem peminjaman seperti ini, yaitu harus dengan syarat
harus dikembalikan plus bunganya, maka transaksi ini adalah transaksi ribawi
yang diharamkan dalam syariat Islam.
d.
Hukum riba
Riba adalah bagian dari 7 dosa besar yang
telah ditetapkan oleh Rasulullah SAW. Sebagaimana hadits berikut ini :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم
قَالَ : اجْتَنِبُوا السَّبْعَ
الْمُوبِقَاتِ قَالُوا : وَمَا هُنَّ يَا
رَسُولَ اللَّهِ ؟ قَالَ : الشِّرْكُ بِاَللَّهِ
وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ
الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إلَّا بِالْحَقِّ
وَأَكْلُ الرِّبَا وَأَكْلُ مَالِ
الْيَتِيمِ وَالتَّوَلِّي يَوْمَ
الزَّحْفِ وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ
الْغَافِلاتِ الْمُؤْمِنَاتِ . مُتَّفَقٌ
عَلَيْهِ
Artinya:
Dari
Abi Hurairah ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Jauhilah oleh
kalian tujuh hal yang mencelakakan". Para shahabat bertanya,"Apa saja
ya Rasulallah?". "Syirik kepada Allah, sihir, membunuh nyawa yang
diharamkan Allah kecuali dengan hak, makan riba, makan harta anak yatim, lari
dari peperangan dan menuduh zina. (HR. Muttafaq alaihi).
Tidak ada dosa yang lebih sadis diperingatkan Allah SWT di
dalam Al-Quran, kecuali dosa memakan harta riba. Bahkan sampai Allah SWT
mengumumkan perang kepada pelakunya. Hal ini menunjukkan bahwa dosa riba itu
sangat besar dan berat.
يَا أَيّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّه وَذَرُوامَا
بَقِيَ مِنْ الرِّبَا إنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا
بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ
أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ
Artinya:
Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa
riba jika kamu orang-orang yang
beriman.Maka jika kamu tidak mengerjakan , maka ketahuilah, bahwa Allah dan
Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat , maka bagimu pokok
hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak
dianiaya. (QS. Al-Baqarah : 278-279)
As-Sarakhsy berkata bahwa seorang yang makan riba akan
mendapatkan lima dosa atau hukuman sekaligus. Yaitu At-Takhabbut, Al-Mahqu,
Al-Harbu, Al-Kufru dan Al-Khuludu fin-Naar.
·
At-Takhabbut : Kesurupan seperti kesurupannya
syetan.
·
Al-Mahqu : Dimusnahkan oleh Allah keberkahan
hartanya
·
Al-Harbu : Diperangi oleh Allah SWT
Al-Kufru : dianggap kufur dari perintah Allah SWT. Dan
dianggap keluar dari agama Islam apabila menghalalkannya. Tapi bila hanya
memakannya tanpa mengatakan bahwa riba itu halal, dia berdosa besar.
Al-Khuludu fin-Naar : yaitu kekal di dalam neraka, sekali
masuk tidak akan pernah keluar lagi dari dalamnya. Nauzu bilah
Kelebihan pegadaian dibanding bank, secara umum, adalah dalam
hal kemudahan dan kecepatan prosedur. Pegadai (nasabah) tinggal membawa barang
yang cukup berharga, kemudian ditaksir nilainya, dan duit pun cair. Praktis,
sehingga sangat menguntungkan buat mereka yang butuh dana cepat.
Sedangkan perbedaan gadai syariah dengan konvensional adalah
dalam hal pengenaan bunga. Pegadaian syariah menerapkan beberapa sistem
pembiayaan, antara lain qardhul hasan (pinjaman kebajikan), dan mudharabah
(bagi hasil) Bukan tanpa alasan mereka tertarik untuk menggarap gadai ini. Di
samping alasan rasional, bahwa gadai ini memilki potensi pasar yang besar,
sistem pembiayaan ini memang memiliki landasan syariah. Apalagi terbukti, di
negara–negara dengan mayoritas penduduk muslim, seperti di Timur Tengah dan
Malaysia, pegadaian syariah telah berkembang pesat.
3. Rahn (Gadai)
a.
Pengertian
Secara bahasa, rahn atau gadai berasal dari kata
ats-tsubutu yang berarti tetap dan ad-dawamu yang berarti terus
menerus. Sehingga air yang diam tidak mengalir dikatakan sebagai maun rahin.
Pengertian secara bahasa tentang rahn ini juga terdapat dalam firman
Allah SWT :
كل نفس بما كسبت رهينة
Tiap-tiap
diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya.(QS. Al-Muddatstsr
: 38)
Adapun pengertian gadai atau ar-Rahn dalam ilmu fiqih adalah
:
Menyimpan sementara
harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diberikan oleh
berpiutang (yang meminjamkan).
Berarti, barang yang dititipkan pada si piutang dapat diambil
kembali dalam jangka waktu tertentu.
b. Dasar Masyru'iyah
Dalam Al-Quran Al-Kariem disebutkan:
وَإِن كُنتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُواْ كَاتِبًا
فَرِهَانٌ مَّقْبُوضَةٌ فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُم بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي
اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ وَلْيَتَّقِ اللّهَ رَبَّهُ وَلاَ تَكْتُمُواْ الشَّهَادَةَ
وَمَن يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُ آثِمٌ قَلْبُهُ وَاللّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
Artinya:
Jika
kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak
memperoleh seorang penulis, hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh
yang berpiutang)..”.(QS Al-Baqarah ayat 283)
Ayat ini secara eksplisit menyebutkan barang tanggungan yang
dipegang oleh yang berpiutang. Dalam dunia finansial, barang tanggungan biasa
dikenal sebagai objek gadai atau jaminan (kolateral) dalam dunia perbankan.
Selain itu, istilah ar-Rahnu juga disebut dalam salah satu
hadis nabawi.
Dari Aisyah ra berkata bahwa Rasulullah SAW membeli makanan
dari seorang yahudi dengan cara menggadaikan baju besinya.(HR. Bukhari dan
Muslim)
Apabila ada ternak digadaikan, punggungnya boleh dinaiki
(oleh orang yang menerima gadai) karena ia telah mengeluarkan biaya
(menjaga)nya… Kepada orang yang naik ia harus mengeluarkan biaya perawatannya”,
(HR Jamaah kecuali Muslim dan Nasa’i, Bukhari no. 2329, kitab ar-Rahn).
c.
Hukum
Rahn / Gadai
Para fuqaha sepakat membolehkan praktek rahn / gadai ini,
asalkan tidak terdapat praktek yang dilarang, seperti riba atau penipuan.
Di masa Rasulullah praktek rahn pernah dilakukan. Dahulu ada
orang menggadaikan kambingnya. Rasul ditanya bolehkah kambingnya diperah. Nabi
mengizinkan, sekadar untuk menutup biaya pemeliharaan. Artinya, Rasullulah
mengizinkan kita boleh mengambil keuntungan dari barang yang digadaikan untuk
menutup biaya pemeliharaan. Nah, biaya pemeliharaan inilah yang kemudian
dijadikan ladang ijtihad para pengkaji keuangan syariah, sehingga gadai atau
rahn ini menjadi produk keuangan syariah yang cukup menjanjikan.
Secara teknis gadai syariah dapat dilakukan oleh suatu
lembaga tersendiri seperi Perum Pegadaian, perusahaan swasta maupun pemerintah,
atau merupakan bagian dari produk-produk finansial yang ditawarkan bank.
Praktik gadai syariah ini sangat strategis mengingat citra
pegadaian memang telah berubah sejak enam-tujuh tahun terakhir ini. Pegadaian,
kini bukan lagi dipandang tempatnya masyarakat kalangan bawah mencari dana di
kala anaknya sakit atau butuh biaya sekolah. Pegadaian kini juga tempat para
pengusaha mencari dana segar untuk kelancaran bisnisnya.
Misalnya seorang produse film butuh biaya untuk memproduksi
filmnya, maka bisa saja ia menggadaikan mobil untuk memperoleh dana segar
beberapa puluh juta rupiah. Setelah hasil panenenya terjual dan bayaran telah
ditangan, selekas itu pula ia menebus mobil yang digadaikannya. Bisnis tetap
jalan, likuiditas lancar, dan yang penting produksi bisa tetap berjalan.
d.
Unsur dan
Rukun Rahn
Dalam praktek rahn, ada terdapat beberapa unsur :
1. Ar-Rahin Yaitu orang yang menggadaikan barang
atau meminjam uang dengan jaminan barang
2. Al-Murtahin Yaitu orang yang menerima barang yang
digadaikan atau yang meminjamkan uangnya.
3. Al-Marhun
/ Ar-Rahn Yaitu barang
yang digadaikan atau dipinjamkan
4. Al-Marhun
bihi yaitu uang
dipinjamkan lantaran ada barang yang digadaikan.
5.
Al-'Aqdu yaitu akad atau kesepaktan untuk melakukan transaksi rahn
Sedangkan yang termasuk rukun rahn adalah hal-hal berikut :
1.
Adanya
Lafaz
yaitu pernyataan
adanya perjanjian gadai. Lafaz dapat saja dilakukan secara tertulis maupun
lisan, yang penting di dalamnya terkandung maksud adanya perjanjian gadai
diantara para pihak.
2. Adanya pemberi dan penerima gadai.
Pemberi dan
penerima gadai haruslah orang yang berakal dan balig sehingga dapat dianggap
cakap untuk melakukan suatu perbuatan hukum sesuai dengan ketentuan syari’at
Islam.
3. Adanya barang yang digadaikan.
Barang yang digadaikan harus ada pada saat
dilakukan perjanjian gadai dan barang itu adalah milik si pemberi gadai, barang
gadaian itu kemudian berada dibawah pengasaan penerima gadai.
4. Adanya utang/ hutang.
Hutang yang
terjadi haruslah bersifat tetap, tidak berubah dengan tambahan bunga atau
mengandung unsur riba.
Mengenai barang
(marhum) apa saja yang boleh digadaikan, dijelaskan dalam Kifayatul Akhyar 5
bahwa semua barang yang boleh dijual – belikan menurut syariah, boleh
digadaikan sebagai tanggungan hutang.
Dalam keadaan normal hak dari rahin setelah melaksanakan
kewajibannya adalah menerima uang pinjaman dalam jumlah yang sesuai dengan yang
disepakati dalam batas nilai jaminannya, sedang kewajiban rahin adalah
menyerahkan barang jaminan yang nilainya cukup untuk jumlah hutang yang
dikehendaki. Sebaliknya hak dari murtahin adalah menerima barang jaminan dengan
nilai yang aman untuk uang yang akan dipinjamkannya., sedang kewajibannya
adalah menyerahkan uang pinjaman sesuai dengan yang disepakati bersama.
Setelah jatuh tempo, rahin berhak menerima barang yang
menjadi tanggungan hutangnya dan berkewajiban membayar kembali hutangnya dengan
sejumlah uang yang diterima pada awal perjanjian hutang. Sebaliknya murtahin
berhak menerima pembayaran hutang sejumlah uang yang diberikan pada awal
perjanjian hutang, sedang kewajibannya adalah menyerahkan barang yang menjadi
tanggungan hutang rahin secara utuh tanpa cacat.
Diatas hak dan kewajiban tersebut diatas, kewajiban murtahin
adalah memelihara barang jaminan yang dipercayakan kepadanya sebagai barang
amanah, sedang haknya dalah menerima biaya pemeliharaan dari rahin. Sebaliknya
rahin berkewajiban membayar biaya pemeliharaan yang dikeluarkan murtahin,
sedang haknya adalah menerima barang yang menjadi tanggungan hutang dalam
keadaan utuh. Dasar hukum siapa yang menanggung biaya pemeliharaan dapat
dirujuk dari pendapat yang didasarkan kepada Hadist Nabi riwayat Al – Syafi’I,
Al – Ataram, dan Al – Darulquthni dari Muswiyah bin Abdullah Bin Ja’far :
Ia (pemilik barang gadai) berhak menikmati hasilnya dan wajib
memikul bebannya (beban pemeliharaannya).
Ditempat lain terdapat penjelasan bahwa apabila barang
jaminan itu diizinkan untuk diambil manfaatnya selama digadaikan, maka pihak
yang memanfaatkan itu berkewajiban membiayainya. Hal ini sesuai dengan Hadits
Rasullullah SAW : Dari Abu Hurairah , barkata, sabda Rasullulah SAW :
Punggung (binatang) apabila digadaikan, boleh dinaiki asal
dibiayai. Dan susu yang deras apabila digadaikan, boleh juga diminum asal dibiayai.
Dan orang yang menaiki dan meminum itulah yang wajib membiayai. (HR.
Al-Bukhari).
Dalam keadaan tidak normal dimana barang yang dijadikan
jaminan hilang, rusak, sakit atau mati yang berada diluar kekuasaan murtahin
tidak menghapuskan kewajiban rahin melunasi hutangnya.
Namun dalam praktek pihak murtahim telah mengambil langkah –
langkah pencegahan dengan menutup asuransi kerugian sehingga dapat dilakukan
penyelesaian yang adil.
Mengenai pemilikan barang gadaian, berdasarkan berita dari
Abu Hurairah perjanjian gadai tidak merubah pemilikan walaupun orang yang
berhutang dan menyerahkan barang jaminan itu tidak mampu melunasi hutangnya.
Berita dari Abu Hurairah, sabda Rasullulah SAW., :
Barang jaminan tidak bisa tertutup dari pemiliknya yang telah
menggadaikannya. Dia tetap menjadi pemiliknya dan dia tetap berhutang.
Pada waktu jatuh tempo apabila rahin tidak mampu membayar
hutangnya dan tidak mengizinkan murtahin menjual barang gadaiannya, maka
hakim/pengadilan dapat memaksa pemilik barang membayar hutang atau menjual
barangnya. Hasil penjualan apabila cukup dapat dipakai untuk menutup hutangnya,
apabila lebih dikembalikan kepada pemilik barang tetapi apabila kurang pemilik
barang tetap harus menutup kekurangannya
Dalam hal orang yang menggadaikan meninggal dan masih
menanggung hutang, maka penerima gadai boleh menjual barang gadai tersebut
dengan harga umum. Hasil penjualan apabila cukup dapat dipakai untuk menutup
hutangnya, apabila lebih dikembalikan kepada ahli waris tetapi apabila kurang
ahli waris tetap harus menutup kekurangannya atau barang gadai dikembalikan
kepada ahli waris setelah melunasi hutang almarhum pemilik barang
Dari ketentuan-ketentuan yang tersedia dapat disimpulkan
bahwa barang gadai sesuai syariah adalah merupakan pelengkap belaka dari konsep
hutang piutang antara individu atau perorangan. Konsep hutang piutang sesuai
dengan syariat menurut Muhammad Akram Khan adalah merupakan salah satu konsep
ekonomi Islam dimana bentuknya yang lebih tepat adalah al-qardhul hassan.
Hutang piutang dalam bentuk al- qardhul hassan dengan dukungan gadai (rahn),
dapat dipergunakan untuk keperluan sosial maupun komersial. Peminjam mempunyai
dua pilihan, yaitu : dapat memilih qardhul hassan atau menerima pemberi
pinjaman atau penyandang dana (rabb al-mal) sebagai mitra usaha dalam
perjanjian mudharabah
Didalam bentuk al-qardhul hassan ini hutang yang terjadi
wajib dilunasi pada waktu jatuh tempo tanpa ada tambahan apapun yang
disyaratkan (kembali pokok). Peminjam menanggung biaya yang secara nyata
terjadi seperti biata penyimpanan dll., dan dibayarkan dalam bentuk uang (bukan
prosentase). Peminjam pada waktu jatuh tempo tanpa ikatan syarat apapun boleh
menambahkan secara sukarela pengembalian hutangnya.
Apabila peminjam memilih qardhul hassan, rabb al-mal tentu
saja akan mempertimbangkannya apabila peminjam adalah pengusaha pemula dan apabila
peminjam memilih perjanjian mudharabah maka terlebih dahulu harus disepakati
porsi bagihasil masing-masing pihak dimana posisi peminjam dana adalah sebagai
mudharib.
Secara bahasa, ijarah berarti upah, sewa, jasa atau imbalan.
Ijarah adalah transaksi yang memperjual-belikan manfaat suatu harta benda,
sedangkan kepemilikian pokok benda itu tetap pada pemiliknya.
Transaksi ijarah merupakan salah satu bentuk kegiatan
muamalah yang banyak dilakukan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
4. Ijarah
a.
Definisi
Ada beberapa definisi ijarah menurut para ulama mazhab, yaitu
:
·
Al-Hanafiyah, ijarah adalah : akad atau transaksi manfaat dengan imbalan.
·
Ay-syafi'iyah, ijarah adalah : transaksi terhadap manfaat yang dikehendaki
secara jelas harta yang bersifat mubah dan dapat dipertukarkan dengan imbalan
tertentu.
·
Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah, ijarah adalah : pemilikan manfaat suatu harta benda yang
bersifat mubah selama periode waktu tertentu dengan suatu imbalan.
b. Masyru'iyah
Para
fuqaha telah bersepakat tentang kebolehan hukum ijarah ini dengan beberapa
dalil dari Al-Quran Al-Kariem dan juga dari sunnah nabawiyah.
Namun
sebagian kecil ulama ada juga yang mengharamkannya dengan beberapa alasan. Di
antara mereka misalnya Hasan Al-Basri, Abu Bakar Al-Asham, Ismail bin Aliyah,
Ibnu Kisan dan lainnya.
Namun
hajat semua orang yang sangat membutuhkan manfaat suatu benda, membuat akad
ijarah ini menjadi boleh. Sebab tidak semua orang bisa memiliki suatu benda,
namun sudah pasti tiap orang butuh manfaat benda itu
Maka
ijarah dibolehkan, selain memang Allah SWT telah memastikan kebolehan transaksi
ijarah, sebagaimana sejumlah keterangan dari Al-Quran dan As-Sunnah berikut ini
:
وَإِنْ أَرَدتُّمْ أَن تَسْتَرْضِعُواْ أَوْلاَدَكُمْ فَلاَ جُنَاحَ
عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُم مَّآ آتَيْتُم بِالْمَعْرُوفِ وَاتَّقُواْ اللّهَ
وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
Artinya:
Dan
jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu
apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada
Allah dan Ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.. (QS.
Al-Baqarah : 233)
أَهُمْ يَقْسِمُونَ رَحْمَةَ رَبِّكَ نَحْنُ قَسَمْنَا
بَيْنَهُم مَّعِيشَتَهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ
فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِيَتَّخِذَ بَعْضُهُم بَعْضًا سُخْرِيًّا وَرَحْمَتُ
رَبِّكَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُونَ
Artinya:
Apakah
mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? kami Telah menentukan antara mereka
penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami Telah meninggikan sebahagian
mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat
mempergunakan sebagian yang lain. dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang
mereka kumpulkan. (QS. Az-Zukhruf : 32)
عن بن عباس رضي الله عنه قال : إحتجم رسول الله صلى الله عليه
وسلم وأعطى الذي حجمه أجره - رواه البخاري
Artinya:
Dari
Ibn Abbas ra berkata bahwa Rasulullah SAW melakukan hijamah (berbekam) dan
memberikan orang yang melakukannya upah atas kerjanya. (HR. Bukhari)
عن ابن عمر رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه
وسلم : اعطوا الأجير أجره قبل أن يجف عرقه - رواه ابن ماجة
Artinya:
Dari
Umar ra bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Berikan pekerja itu upahnya sebelum
kering keringatnya". (HR. Ibnu Majah)
c. Rukun Ijarah
Jumhur
ulama menetapkan bahwa sebuah akad ijarah itu setidaknya harus mengandung 4
unsur yang menjadi rukun. Dimana bila salah satu rukun itu kurang atau tidak
terpenuhi, maka akad itu menjadi cacat atau tidak sah.
Al-'Aqidani (dua belah pihak)
Yang dimaksud adalah
pihak yang menyewakan atau musta'jir (مستأجر) dan pihak yang menyewa atau muajjir (موجر).
Keduanya adalah inti
dari akad ini yang bila salah satunya tidak ada, misalnya tidak ada yang
menyewa atau tidak ada yang menyewakan, tentu tidak bisa dikatakan akad sewa
menyewa.
d. Objek Ijarah
Dari
beberapa definisi di atas telah disebutkan bahwa ijarah itu merupakan sebuah
transaksi atas suatu manfaat.
Dalam
hal ini, manfaat menjadi objek transaksi. Dari segi ini, ijarah dapat dibedakan
menjadi dua macam.
Pertama, ijarah yang
mentransaksikan manfaat harta benda yang lazim disebut dengan persewaan.
Misalnya, sewa-menyewa rumah, kendaraan, toko dan lainnya.
Kedua, ijarah yang
mentransaksikan manfaat SDM yang lazim disebut dengan perburuhan.
1.
Manfaat
Harta Benda
Tidak
semua harta benda boleh diijarahkan, kecuali bila bila memenuhi syarat-syarat
berikut ini :
1.
Manfaat objek akad harus diketahui secara jelas.
Hal ini dilakukan misalnya dengan memeriksanya secara langsung atau pemilik
memberikan informasi secara transparan tentang kualitas manfaat barang.
2.
Objek ijarah dapat diserah-terimakan dan
dimanfaatkan secara langsung dan tidak mengandung cacat yang menghalangi
fungsinya. Tidak dibenarkan transaksi ijarah atas harta benda yang masih dalam
penguasaan pihak ketiga.
3.
Objek ijarah dan pemanfataannya harus tidak
bertentang dengan syariah. Misal yang bertentangan adalah menyewakan vcd porno,
menyewakan rumah bordil, atau menyewakan toko untuk menjual khamar.
4.
Yang disewakan adalah manfaat langsung dari
sebuah benda. Misalnya, sewa menyewa rumah untuk ditempati, mobil untuk
dikendarai, tanah sawah untuk ditanami atau buku untuk dibaca. Tetapi
sebaliknya, menyewa suatu benda untuk diambil hasil turunan dari benda itu
tidak dibenarkan secara syariah. Misalnya, menyewa pohon untuk diambil buahnya,
atau menyewa kambing untuk diambil anaknya, atau menyewa ayam untuk diambil
telurnya atau menyewa sapi untuk diambil susunya. Sebab telur, anak kambing,
susu sapi dan lainnya adalah manfaat turunan berikutnya, dimana benda itu melahirkan
benda baru lainnya.
5.
Harta benda yang mejadi objek ijarah haruslah
harta benda yang bersifat isti'mali, yakni harta benda yang dapat dimanfaatkan
berulang kali tanpa mengakibatkan kerusakan dan pengurangan sifatnya. Seperti
tanah, kebun, mobil dan lainnya. Sedangkan benda yang bersifat istihlaki atau
benda yang rusak atau berkurang sifatnya karena pemakaian seperti makanan,
minuman atau buku tulis, tidak boleh disewakan. Dalam hal ini ada sebuah kaidah
:
كل ما ينتفع به مع بقاء عينه تجوز إجارته وإلا فلا
Segala
sesuatu yang bisa dimanfaatkan sedangkan zatnya tidak mengalami perubahan,
boleh disewwakan. Jika tidak demikian, maka tidak boleh disewakan.
Kelima persyaratan di atas harus dipenuhi dalam setiap ijarah
yang mentransaksikan manfaat harta benda.
2.
Pekerja
Adapun ijarah yang
mentransaksikan suatu pekerjaan atas seorang pekerja atau buruh, harus memenuhi
beberapa persyaratan berikut ini :
1. Perbuatan
tersebut harus jelas batas waktu pekerjaannya, misalnya bekerja menjaga rumah
satu malam atau satu bulan. Dan harus jelas jenis pekerjaannya, misalnya
pekerjaan menjahit baju, memasak, mencuci dan lain sebagainya. Dalam hal yang
disebutkan terakhir ini tidak disyaratkan adanya batas waktu pengerjaannya.
2. Pekerjaan
yang menjadi objek ijarah tidak berupa pekerjaan yang telah menjadi kewajiban
pihak pekerja sebelum berlangsungnya akad ijarah. Seperti kewajiban membayar
hutang, mengembalikan pinjaman, menyusui anak dan lain-lain.
Dari segi uang atau ongkos sewa, ijarah harus memenuhi syarat
berikut :
1.
Upah harus berupa mal mutaqawim, yaitu harta
yang halal untuk dimanfaatkan. Dan besarnya harus disepakati secara jelas oleh
kedua belah pihak. Sedangkan mempekerjakan buruh dengan upah makan merupakan
contoh upah yang tidak jelas, karena mengandung unsur jahalah
(ketidak-pastian). Ijarah seperti menurut jumhur ulama selain Al-Malikiyah,
adalah tidak sah. Sedangkan fuqaha Al-Malikiyah menetapkan keabsahan ijarah
tersebut sepanjang ukuran upah yang dimaksud dapat diketahui berdasarkan
kebiasaan.
2.
Upah itu harus berbeda dengan objek pekerjaannya.
Menyewa rumah dengan rumah lainnya, atau mengupah suatu pekerjaan dengan
pekerjaan serupa, merupakan ijarah yang tidak memenuhi
syarat. Karena hukumnya tidak sah, karena dapat mengantarkan kepada riba.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Fiqih muamalah merupakan salah satu
dari bagian persoalan hukum Islam seperti yang lainnya yaitu tentang hukum
ibadah, hukum pidana, hukum peradilan, hukum perdata, hukum jihad, hukum
perang, hukum damai, hukum politik, hukum penggunaan harta, dan hukum
pemerintahan
Ruang lingkup fiqih muamalah adalah seluruh kegiatan
muamalah manusia berdasarkan hokum-hukum islam yang berupa peraturan-peraturan
yang berisi perintah atau larangan seperti wajib,sunnah,haram,makruh dan
mubah.hokum-hukum fiqih terdiri dari hokum-hukum yang menyangkut urusan ibadah
dalam kaitannya dengan hubungan vertikal antara manusia dengan Allah dan
hubungan manusia dengan manusia lainnya. Ruang linkup fiqh muamalah terdiri
dari dua yaitu fiqh muamalah yang bersifat adabiyah
dan adiniyah
Kaidah fiqih muamalah adalah “al ashlu fil mua’malati al
ibahah hatta yadullu ad daliilu ala tahrimiha” (hukum asal dalam urusan
muamalah adalah boleh, kecuali ada dalil yang mengharamkannya). Ini berarti
bahwa semua hal yang berhubungan dengan muamalah yang tidak ada ketentuan baik
larangan maupun anjuran yang ada di dalam dalil Islam (Al-Qur’an maupun
Al-Hadist), maka hal tersebut adalah diperbolehkan dalam Islam.
Dalam Islam, transaksi utama dalam kegiatan usaha adalah
transaksi riil yang menyangkut suatu obyek tertentu, baik obyek berupa barang
ataupun jasa. kegiatan usaha jasa yang timbul karena manusia menginginkan
sesuatu yang tidak bisa atau tidak mau dilakukannya sesuai dengan fitrahnya
manusia harus berusaha mengadakan kerjasama di antara mereka.
Post a Comment for "Makalah Tentang Fiqih Muamalah "